Tentang Cara Berpikir Manusia – Laurance Labadie

Ada banyak kesalahpahaman tentang cara manusia berpikir. Kecuali dalam kasus-kasus yang jarang terjadi, manusia tidak berpikir atau memiliki gagasan yang bertentangan dengan cara mereka menjalani hidup. Setiap individu pasti memiliki kepentingan, dan kepentingan ini menentukan tidak hanya apa yang mereka pikirkan, tetapi juga bagaimana mereka memikirkannya dan apa kesimpulan mereka. Tidak ada orang yang dapat berpikir secara objektif tentang hal-hal yang melibatkan dirinya secara pribadi. Semua pemikiran yang disebut objektif atau ilmiah berkaitan dengan hal-hal yang, secara asumsi, berada di luar kendali manusia.

Bukan kebetulan bahwa para ilmuwan sering dianggap tidak bertanggung jawab, karena untuk melakukan pemikiran ilmiah atau objektif, diperlukan ketidakterlibatan11. Dan tentu saja, definisi saya tentang ketidakterlibatan hampir berarti tidak bertanggung jawab. Seorang ilmuwan tidak bertanggung jawab atas temuannya, karena temuan tersebut, secara teori, inheren dalam sifat benda, dan karenanya berada di luar kendalinya.

Kesimpulannya adalah bahwa sebagian besar dari apa yang dianggap manusia sebagai “berpikir” sebenarnya hanyalah rasionalisasi. Manusia merasionalisasi keinginan mereka, tindakan mereka, situasi mereka (jika situasi itu menguntungkan bagi mereka meskipun merugikan orang lain). Manusia membenarkan, melegitimasi, dan mencari alasan untuk melakukan apa yang mereka inginkan, apa yang memaksa mereka untuk melakukan, atau apa yang menurut pendapat mereka adalah kepentingan mereka, baik pendapat itu disadari maupun tidak.

Tentu saja, ini bukan hal baru. Ada ribuan pernyataan dalam literatur yang menunjukkan bahwa apa yang saya katakan telah diketahui sebelumnya. Bukankah ada ungkapan bahwa “seseorang tidak bisa melihat bintik di matanya sendiri”? Sangat mudah untuk melihat kesalahan orang lain, sementara kita tidak bisa melihat kekurangan terburuk dalam diri kita sendiri atau dalam anggota kelompok kita.

Poin praktis yang dapat diambil dari gagasan ini adalah pentingnya mempertimbangkan beberapa hal sebelum mendengarkan atau membaca apa yang dikatakan seseorang. Pertimbangkan: bagaimana situasi hidupnya; apa yang ia coba buktikan; dan mengapa ia melakukan itu. Siapa dia? Apa kepentingannya? Apa yang memotivasinya?

Ketika kita mempertimbangkan aspek-aspek ini dalam komunikasi, kita menjadi lebih hati-hati untuk tidak terlalu menganggap serius perkataan seseorang. Sebagai tambahan, akan berguna untuk mempertimbangkan situasi hidup kita sendiri sebelum kita berasumsi bahwa kita mampu atau kompeten untuk belajar sesuatu dari individu tertentu.

Sering kali, jika tidak biasanya, terjadi bahwa dua orang berada dalam situasi yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat belajar apa pun dari satu sama lain, bahkan jika keduanya sedang menyampaikan kebenaran.

“Apa itu kebenaran?” tanya Pilatus; tetapi ia tidak menunggu jawaban. Ia mungkin sudah tahu betul apa itu  “kebenaran” bagi orang yang ia tanyai. Bisa saja ada sepuluh “kebenaran” yang berbeda dari sepuluh orang yang berbeda, tetapi tidak satupun dari “kebenaran” tersebut merupakan kebenaran sejati.

Hingga saat ini, manusia belum menciptakan “mesin kebenaran,” dan mungkin tidak akan pernah, karena jika mesin tersebut harus mendapatkan informasi atau data dari manusia, ia sudah dipaksa untuk bekerja dengan data yang telah dimanipulasi atau berat sebelah.

Sekarang, saya ingin mengungkapkan sebuah kontradiksi, yang mungkin secara kebetulan berkontribusi pada pemahaman filsafat kontradiksi yang menjadi bagian penting dari skema pemikiran saya.

Kontradiksi tersebut adalah: meskipun manusia tidak dapat berpikir secara objektif atau “tanpa kepentingan” tentang hal-hal yang melibatkan dirinya, manusia juga tidak dapat berpikir tentang hal-hal yang tidak menarik minatnya. Ia tidak cukup penasaran tentang hal-hal yang tidak menarik baginya untuk memberikan perhatian. Bahkan jika ia menyadari hal-hal tersebut, ia tidak peduli karena merasa ada hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan.

Dengan demikian, manusia berada dalam dilema yang inheren dalam sifat kehidupan itu sendiri. Hal-hal yang tidak menarik baginya, yang secara teori bisa ia pikirkan secara objektif, dianggap tidak menguntungkan untuk dipertimbangkan. Sedangkan hal-hal yang menarik baginya, yang harus ia hadapi jika ia bukan seorang penghindar masalah, ia jelas tidak mampu memikirkannya secara objektif. Akibatnya, sebagai “mesin pemikir,” manusia hampir pasti terjebak dalam tingkat tertentu ketidaktahuan dan kebodohan.

Dalam tulisan-tulisan saya belakangan ini, saya mencoba menunjukkan bahwa hal ini tidak hanya benar dari sudut pandang filosofis, tetapi juga dalam kenyataan. Saya telah menunjukkan di beberapa tempat bahwa kepentingan langsung kebanyakan orang pada dasarnya membuat mereka, hampir secara tak terelakkan, berkontribusi pada kehancuran umat manusia.

Saya juga telah menunjukkan bahwa kebebasan (liberty), yang dalam kondisi alaminya cenderung menuju keseimbangan, telah teralihkan selama perjalanan evolusi manusia. Sebagai gantinya, paksaan dan kekerasan yang terlembagakan telah menjadi modus operandi dalam mengelola urusan manusia. Pelanggaran terhadap kebebasan alami manusia ini, dengan digantikan oleh negara, telah mengubah atau menghapus kecenderungan alami tersebut. Hasilnya adalah sebuah situasi yang telah melewati titik tidak bisa kembali (point of no return), dimana akhir dari proses ini adalah kehancuran total dan saling memusnahkan.

Kepastian akan kehancuran ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa kebebasan, alih-alih berkembang, justru semakin terhapuskan di mana-mana.

Visi tentang masa depan yang suram ini hanya dapat dilihat melalui cara berpikir yang terintegrasi dan operasional, sebagaimana yang saya tekankan, dibandingkan dengan cara berpikir yang terfragmentasi, tidak terhubung, terkotak-kotak, dan statis, yang menjadi ciri khas banyak orang, termasuk Borsodi. Dalam memahami fenomena yang bersifat organik, pertanyaan utamanya adalah tentang fungsi. Untuk berpikir secara realistis tentang hal ini, kita memerlukan kesadaran akan pergerakan, kecenderungan, dan sudut pandang yang dinamis. Hanya dengan berpikir dalam kerangka kecenderungan, kita dapat memprediksi masa depan.

Seseorang bahkan mungkin dapat memprediksi tindakannya sendiri, meskipun tindakannya itu tidak sepenuhnya berada dalam kendalinya. Sebab, tidak mungkin seseorang dapat menentukan atau memutuskan apa saja pengaruh dan keadaan yang akan ia hadapi. Untuk melawan pengaruh-pengaruh tersebut memerlukan pemahaman dan kekuatan yang jauh melampaui kemampuan individu mana pun. Namun demikian, keadaan tersebut akan menentukan reaksi dan perilaku kita, karena manusia sering mengesampingkan masa depan demi kenyamanan saat ini — yang, dalam banyak kasus, tampaknya memang benar. Ia jelas tidak akan bertindak sesuai dengan apa yang disebut “kehendak bebasnya,” jika tindakan tersebut berarti kehancuran dirinya secara langsung.

Apa yang saya katakan, secara substansi, adalah bahwa di masa lalu manusia secara tidak sengaja mendirikan sebuah institusi permanen yang bersifat statis, yang cenderung menolak perubahan, dan yang pada dasarnya didasarkan pada paksaan dan kekerasan dengan tujuan spesifik untuk memperbudak dan mengeksploitasi. Sifat represif dari institusi ini telah menyebabkan distorsi dan mutilasi terhadap psikis manusia. Institusi ini juga telah menggerakkan kekuatan-kekuatan yang tidak berwujud dan tidak dapat dimengerti, yang bahkan tidak disadari oleh manusia, tetapi manusia adalah korban tak terelakkan darinya.

Pendirian ini terjadi secara kebetulan, bukan karena ketidakdewasaan atau neurosis manusia, maupun dari “dosa asal” yang hipotetis. Melainkan, itu terjadi semata-mata karena ketidaktahuan dan kebodohan manusia. Sebab manusia bukanlah baik ataupun buruk, tetapi egois dan dikaruniai dengan kehendak hidup yang tidak dapat dijelaskan. Tak seorang pun dapat disalahkan karena ketidaktahuannyaInstitusi kriminal yang kita kenal sebagai negara itu muncul secara kebetulan, tetapi dampaknya sangat menghancurkan. Pengaruh buruk ini hanya dapat disaingi oleh agama yang terorganisir, yang juga memiliki dampak destruktif yang signifikan.

Apakah Anda benar-benar percaya bahwa sekelompok kecil “idiot sombong” di sebuah konferensi tingkat tinggi akan mampu atau bahkan bersedia mendamaikan konfrontasi gila yang mereka wakili? Atau bahwa hal ini dapat terjadi hanya karena dua miliar orang bodoh mempercayainya? Dan jika saya mengatakan bahwa itu tidak benar, apakah saya salah?

Atau, jika saya berpendapat, tanpa bukti konkret, bahwa pada tahun 1960 hubungan antarmanusia telah memburuk sedemikian rupa sehingga hampir tidak ada harapan lagi bagi kelangsungan hidup di planet kecil ini, apakah saya salah?

Bahkan jika hubungan antara tuan dan budak dianggap tak terhindarkan atau bahkan dianggap alamiah, dan hubungan itu menjadi bersatu, universal, dan lengkap, faktanya tampak jelas bahwa para penguasa saat ini — di kedua sisi Perang Dingin dan di antaranya — tidak mampu dan tampaknya tidak berminat untuk menyepakati skema apapun yang memungkinkan mereka bersama-sama menipu, memaksa, dan mengeksploitasi massa manusia.

Sebagai contoh, jika Paus dan Khrushchev (dengan melibatkan para “pemimpin” lainnya) dapat mencapai kesepakatan untuk menyelaraskan operasi mereka, maka dapat dibayangkan bahwa massa manusia — yang sebagian besar percaya pada bentuk perbudakan tertentu — mungkin dapat terhindar dari bencana holocaust atom. Namun, hasil yang tak terelakkan dari kecenderungan yang sedang berlangsung ini hanya memiliki dua kemungkinan: perbudakan totalitarian atau pemusnahan total.


  1.  Ilmuwan dianggap tidak bertanggung jawab karena sifat pekerjaan mereka memerlukan ketidakterlibatan secara pribadi atau emosional. (penerj) ↩︎

Teks diambil dari https://theanarchistlibrary.org/library/laurence-labadie-on-man-s-thinking